Wednesday, January 5, 2011

AKU RINDU "MEREKA YANG DULU"

Posted by Khaleeda on Feb 26, '08 10:37 PM for everyone


Bismillah...

Ada yang hangat membasuh pelupuk mata dan pipi ini. Endapan kristal yang tak mampu terbendung lagi, kini tumpah menguraikan kesedihan dan menyisakan isak tangis sesenggukan. ada yang bergemuruh di dalam dada. ada yang bergejolak di dalam jiwa. semua beradu memainkan nuansanya...Dengan segenap hati kurangkaikan kata demi kata untuk mereka yang kini entah di mana. Aku merasa kehilangan...sangat kehilangan! Karena itu, kucoba tuliskan rinduku, pada mereka yang dulu...

Ahh..masih terekam dalam ingatan, kisah-kisah penuh hikmah dalam bingkai perjuangan. Tatkala dakwah menjadi suatu kesadaran dan semangat berkorban bergelombang di seantero pelosok negeri, demi satu kejayaan, ISLAM! Para muslimah berbondong-bondong mengenakan hijab. Tak peduli resiko dan tantangan yang mereka hadapi begitu hebat. Ancaman dan cercaan dari orang-orang terdekat. Keluarga, pihak Sekolah, maupun sahabat. Adanya kecurigaan dan kekhawatiran akan mereka yang dianggap pengikut aliran sesat. Namun, tak segores pun rasa gentar tersirat di raut wajah mereka. Hanya ada satu cita, hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Sungguh! merekalah akhowat tangguh itu! Sekarang, jarang sekali aku melihat raut teduh nan bersahaja seperti mereka dulu. Wajah-wajah bersih dan bercahaya karena polesan air wudhu dan bedak tawadhu'. Kesederhanaan dan kepolosan yang lahir dari jiwa-jiwa yang tulus dan qona'ah. Kelembutan yang berbalut kedewasaan dan setegar batu karang. Ah, aku rindu.... Entah apa yang terjadi. Saat ini, yang sering tampak adalah pemandangan mereka yang mengaku akhwat, berpenampilan modis dengan pakaian serba ketat, ditambah wangi parfum yang menebar aroma syahwat, jilbab kecil berwarna-warni dengan motif mencolok, bahkan ada yang tidak mengenakan kaos kaki. Astaghfirullah...(wahai ukhti, jagalah dirimu dari fitnah lelaki...)

Masih membekas dalam ingatan, ketika masjid-masjid ramai dengan kaum lelaki yang sholat berjama’ah. Lingkaran-lingkaran di masjid, musholla, dan rumah-rumah yang menjadi sarana pembinaan. Sebuah proses pembentukan (Tansyi’ah), pemeliharaan (Ar-Ri’ayah), pengembangan (At-Tanmiyah), pengarahan (At-Taujih) dan pemberdayaan (At-Tauzhif). Yang kelak darinya akan muncul generasi-genarasi tangguh yang menjadi tonggak berdirinya suatu kejayaan (InsyaAllah...). Mereka, yang demi menghadiri lingkaran-lingkaran ilmu itu harus menempuh jarak bermil-mil, menyeberangi sungai, menerobos hutan dan semak belukar. Mereka dicurigai, dituduh, ditangkap, dipenjara, diburu, bahkan dibunuh oleh mata-mata musuh yang tidak akan pernah berhenti mengusik umat Islam sampai kita mengikuti agama mereka (musuh-musuh Allah-pen). Namun, percuma saja! Sia-sia. Mereka yang dipanggil mujahid-mujahidah sejati tidak akan pernah bergeming. Semua yang dilakukan musuh-musuh Allah itu tak kan sanggup menyiutkan nyali-nyali mereka. Yang ada malah api semangat yang kian berkobar, membunuh atau terbunuh, demi tegaknya Islam sebagai Ustadziatul ‘alam...Allahu Akbar!!

Masih segar dalam ingatan, ketika gelombang itu menggulung rezim-rezim tak bertanggung jawab. Negeri yang sejak dulu dininabobokan oleh penguasa-penguasa dzolim nan biadab. Pejabat-pejabat yang semakin menggila ingin menjadi konglomerat, sementara rakyat melarat dan negeri sekarat. Belum lagi hutang-hutang yang dipikulkan kepada generasi-generasi kita mendatang. Bah! Gelombang itu, pemuda-pemuda yang seolah terbangun dari tidur panjang yang melenakan, mencoba bangkit dengan mengusung semangat perubahan. Reformasi! Dulu, ketika aksi, pekikan takbir sang aktivis mampu menggetarkan jiwa-jiwa yang mendengarnya, bahkan langit seolah bergemuruh dan bumi serasa bergoncang. Tapi saat ini, pekikan takbir kita hanya membuat polisi-polisi yang berjaga senyam-senyum menahan tawa. Ke mana perginya kekuatan ruhiyah dalam gema takbir itu? Pekikan takbir yang keluar dari lisan-lisan yang basah oleh dzikir hingga membuat musuh ketar-ketir. Takbir yang bersumber dari hati yang bersih dan iman yang kokoh. Adakah yang salah dalam niatan kita? Apakah kuantitas yang semakin bertambah saat ini begitu melenakan hingga kualitas menjadi terabaikan?

Masih hangat dalam ingatan, saat aku menginjakkan kaki pertama kali di medan juang ini. Sambutan mesra dari mereka yang menawarkan sebentuk cinta. Cinta suci yang hanya dibingkai karenaNya. Cinta yang terikat karena adanya kesamaan: satu aqidah, satu cita, dan satu tujuan. Merekalah yang mengajarkanku indahnya jalinan persaudaraan. Tatkala ucap salam menjadi indah terdengar. Senyum-senyum tulus yang merekah dari wajah-wajah bercahaya. Sapa ramah yang terlontar dari mereka yang bersih hatinya...Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada mereka. Semoga Allah menjaga ukhuwah ini hingga ke syurga_amien.

Masih melekat dalam ingatan, ketika mereka bercerita tentang manisnya perjuangan dan indahnya pengorbanan. Tak hanya cerita bahagia bertabur suka, atau kisah pilu mengharu biru, namun ada juga kisah hikmah nan lucu. Ketika kakak-kakak pendahulu bercerita tentang betapa Agungnya Islam mengatur batas-batas pergaulan demi menjaga izzah (kehormatan) manusia di hadapan Allah dan makhlukNya. Kisah seorang akhwat yang ditinggal bicara sendiri karena tak mengetahui bahwa si ikhwan telah pergi, namun tak ia sadari karena mereka berbicara dengan saling memunggungi. Atau kisah seorang akhwat yang terjatuh ke selokan demi menghindari ikhwan yang datang dari arah berlawanan. Atau mungkin kisah seorang ikhwan yang kena “semprot” Murobbinya karena mendapat laporan telah membiarkan seorang akhwat di pinggir jalan menarik sepeda motornya yang mogok dengan kepayahan dan keletihan. Mungkin terkesan konyol dan berlebihan. Ya, mereka memang keterlaluan! Tapi itu mereka lakukan demi kehati-hatian. Tidak seperti interaksi ikhwan akhwat saat ini yang kelewat akrab dengan berpendapat bahwa “menjaga pendangan belum tentu menjaga hati”. Astaghfirullah... lalu apa makna dari perintah Allah dalam surah An-Nur ayat 30-31 bagi mereka saat ini? Di mana posisi hijab itu kini?

Ya, akhir-akhir ini ingatan-ingatan itu berkelebat dalam benak, menari-nari dalam otak, dan menyebabkan kerinduanku pada mereka yang dulu semakin memuncak. Aku rindu ghiroh mereka. Aku rindu militansi mereka. Ya Allah...hati ini sungguh merindukan semua itu...

Kala ku buka lembaran silam, untaian memori tertata rapi, sekotak kenangan tergenggam erat, seiring waktu yang berjalan begitu cepat. Di sini, kita merajut bingkai ketulusan, merangkai kebersamaan, dan indahnya sebuah jalinan. Tak ada yang mesti ditangisi. Tak ada yang mesti disesali. Berpisah tak mesti pergi. Karena namamu tetap bersarang di sini, di relung hati. Hanya untaian maaf dan berbuket ucapan terimakasih yang terselip di sela-sela do’a...Moga Allah mengumpulkan kita di jannahNya_amien..

Teriring lantunan nasyid yang mengalun dari dentingan hati...

Kehidupan bagaikan roda
Beribu zaman terus berputar
Namun satu tak akan pudar
Cahya Allah tetap membahana

Majulah sahabat mulya
Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa
Cita kita tetap satu jua
Cita kita tetap satu jua

(IZIS, Untukmu Syuhada)

aku sadar, rindu tinggallah rindu..
kini, aku harus bangkit dan menatap ke depan!
perjalanan masih terlalu panjang...
di sana, masih ada segelintir orang yang
masih memegang teguh prinsip-prinsip dan idealismenya
untuk tetap kembali pada asholah dakwah,
seperti pada awal-awal tarbiyah...
tak kalah meski tergerus masa..
tak goyah walau selangkah...
Let's Back To Asholah!!!!

Ikhwah fillah...Mari kita berlari menuju Allah,
memohon ampunan atas segala kesalahan,
memburu syurga dengan segenap pengorbanan..
meski air mata berderai-derai
meski peluh menganak-sungai
bergerak atau menggerakkan!!!
berkorban atau terkorbankan!!!
Allaahu Akbar!!

Atha Bin Abi Rabah

Posted by redaksi On 19 September 2010 No Commented
“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.

Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
“Di mana sahabatmu?.”
Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.”
Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.”
Mereka berkata, “Baik.”
Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.
Rujukan:
1- Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa’d: 2/386.
2- Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim: 3/310.
3- Sifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 2/211.
4- Ghuraru Al-Khashaish: 117.
5- Wafayat Al-A’yan, oleh Ibnu Khalkan: 3/261
6- Thabaqat Asy-Syairazi: lembar ke 17.
7- Nukatu Al-Hamya: 199.
8- Mizanu Al-I’tidal: 2/197
9- Tadzkiratu Al-Huffadz: 1/92.
10- Tahdzib At-Tahdzib: 7/199.
11- Nuzhatu Al-Khawathir: 1/85.

Monday, January 3, 2011

Menyulam kata untuk mengevaluasi 100 hari SBY-Boediono

Lain lubuk,lain pula Ikannya. Lain kepala lain pula pikiran dan pendapatnya.
“Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab,yakni orang yang berfikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tanpa pernah berpikir”(WA nance)
Tradisi ikut-ikutan program 100 hari bagi seorang presiden di Indonesia dikenal sejak masa reformasi, walaupun itu tidak sepenuhnya salah. Janji politik yang harus ditunaikan menjelma menjadi alaram pembangun dari tidur, Waktu tiga bulan masa pemerintahan begitu dinanti-nanti oleh seluruh kalangan masyarakat yang penasaran kira-kira langkah apa saja yang sudah diambil oleh sang presiden. Kemudian prestasi apa saja yang sudah dicapai dalam rentang waktu tersebut dan jikalau gagal, maka kenapa pemerintah bisa gagal ? namun opini yang berkembang dari para aktivis menyatakan bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan tugas 100 harinya.

28 Januari 2010 telah menjadi perhelatan akbar dan hari pertanggung jawaban sekaligus hari yang menegangkan oleh pasangan SBY-BD karena kamis bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY – Boediono. SBY – Boediono
mengejewantahkan lima strategi pokok selama 5 tahun yang
kemudian dikembangkan menjadi 15 program kerja pilihan pada 100 hari
pertama.
Lima strategi tersebut adalah pertama, melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai





kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya
menciptakan good government, good corporate dan good governance. Ketiga, demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa. Keempat, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi. Kelima, belajar dari pengalaman yang lalu dan dari negara-negara lain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi segenapkomponen bangsa.
Dari kelima strategi itu, Presiden SBY dengan berani menetapkan 15 program kerja 100 hari pertama yang disampaikan setelah Sidang Kabinet pada 5 November 2009 lalu di Kantor Presiden, Komplek Istana, Jakarta.

Program – program tersebut meliputi pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, meningkatkan daya listrik di seluruh Indonesia, meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, revitalisasi pabrik pupuk dan gula, mengurai keruwetan agrarian dan tata ruang, membangun infrastruktur, mengucurkan dana Rp. 100 triliun per tahun untuk kredit Usaha Kecil dan Menengah, mencari solusi pembiayaan dan investasi, merumuskan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan lingkungan, reformasi kesehatan, mensinkronkan antara pendidikan dan dunia kerja, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, serta sinergi antara pusat dan daerah.

Begitu program ini muncul, banyak kalangan yang memandang negative terhadap pelaksanaannya 100 hari ke depan. Program kerja dinilai omong kosong, hanya sebagai pencitraan, dan hanya untuk menjalankan tradisi yang sudah berjalan sejak reformasi.

Dalam perjalanannya, SBY dan Boediono menghadapi berbagai permasalahan yang menuntut ketegasan dan keberanian presiden dalam mengambil sikap. Kasus-kasus yang bermunculan satu persatu benar-benar menguji pemerintahan SBY. Saat Antasari Azhar ketua KPK tersandung kasus pembunuhan, yang lain pun bermunculan. Terakhir kasus Bank Century yang sangat controversial karena melibatkan Boediono sang wakil presiden dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Orang-orang terdekat beliau yang terlibat kasus membuat presiden melemah sehingga menghambat program kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, kesetiaan pun sulit ia dapatkan. Manakah pihak yang benar-benar berpihak padanya dan manakah pihak yang menjadi musuh dalam selimut.
Untuk masalah pembangunan, hambatan presiden adalah
masalah anggaran. Sebagian besar biaya untuk pembangunan berasal dari APBN. Ini tentu saja memberatkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan yang merata. Sementara itu APBD lebih banyak dihabiskan untuk gaji dan biaya-biaya birokrasi sehingga anggaran untuk pembangunan sangat kecil sekali.



Evaluai 100 Hari SBY – Boediono Mengenai evaluasi program kerja 100 hari SBY, maka pertanyaan yang akan muncul ialah indikator apa yang akan digunakan dalam penilaian tersebut? Di Amerika Serikat, hal tersebut dinilai dari berapa undang-undang yang mampu diloloskan demi suatu perubahan ke arah yang lebih baik dalam rentang waktu tersebut. Nah, di Indonesia indikator seperti apakah yang dapat mengevaluasi program-program ini?
Penulis memandang program kerja 100 hari SBY – Boediono. Masyarakat menilai program ini gagal total alias tidak berhasil. Pertama, tidak tegasnya SBY dalam menyikapi kasus perseteruan antara POLRI dan KPK beberapa waktu Lalu yang juga dinilai sangat lambat penanganannya oleh masyarakat. Ini sudah cukup menjadi bukti
Ketidak konsistenan beliau untuk memberantas kasus korupsi. Kedua, belum maksimalnya kerja para menteri. Hingga saat ini belum ada menteri yang mampu menunjukkan prestasinya, belum ada menteri yang menonjol,ada juga menteri yang tidak kompeten sama sekali bahkan mantan menteri ESDM KIB 1
menjadi menteri pertahanan di KIB 2 yang seharusnya diisi oleh kalangan militer. Ketiga, tersitanya waktu presiden dalam menyelesaikan kasus Bank Century yang berujung pada hak angket yang diajukan oleh anggota DPR, Indonesia pun di hebohkan dengan buku fenomenal yang berjudul “membongkar gurita cikeas- dibalik skandal bank century, buku ini hilang dari peredaran mungkin mengusik kalangan penguasa dan sekaligus menandakan buku ini mengandung unsur kebenaran, terlepas dari subjektivitas dan objektivitas kandungannya. Keempat, tindakan fatal yang dilakukan oleh presiden dalam kebijakan luar negerinya dengan Cina di bidang ekonomi yang terkesan tidak mempedulikan pengusaha lokal.

Gembar-gembor 100 hari SBY Boediono menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Beberapa kalangan memprediksikan bahwa evaluasi ini akan berujung pada reshuffle kabinet di mana SBY kembali akan mengganti menteri-menteri yang dianggapnya tidak dapat berkerja dengan baik seperti yang pernah dilakukan pada periode sebelumnya. Kemudian mahasiswa yang ikut meramaikan jalanan tanggal 28 Januari 2010 menuntut agar SBY mundur karena sudah tidak layak untuk melanjutkan kekuasaannya. Isu impeachment terhadap presiden yang pertama kali di keluarkan oleh SBY sendiri yang terkesan sang presiden suka curhat dan cengeng, impeechmen ini sangat sensitif sekali karena mengingatkan akan pemimpin sebelumnya yaitu mantan presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang juga diturunkan oleh mahasiswa. Dan jika hal itu terjadi lagi, berarti bangsa ini harus kembali ke titik awal.
Mengenai masalah pemecatan beberapa menteri, tanggapan yang muncul sangat beragam. Pertama, bila memang SBY melakukan hal tersebut itu artinya bahwa susunan kabinet saat ini sudah salah dari awal. Ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY dalam memilih orang-orang yang akan bekerja padanya untuk bersama-sama membangun Indonesia akan semakin besar. Kedua, pemecatan beberapa menteri penulis rasa tidak pantas karena 100 hari tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja mereka secara keseluruhan. Seharusnya menteri-menteri ini diberikan waktu lebih lama untuk membantu presiden.
Semoga evaluasi 100 hari ini dapat dijadikan cermin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Boediono beserta jajaran menteri akan pemerintahan mereka. Penulis berharap, reaksi masyarakat akan membuat dua penguasa ini dan menterinya, terutama sang presiden lebih tegas dalam bersikap dan menghilangkan rasa takut yang berlebihan. Tunjukkan pada masyarakat bahwa ia masih mampu memimpin Indonesia 5 tahun ke depan. Jika hal tersebut tidak sanggup dilaksanakan, maka pilihan terakhir adalah mundur dari kursi ksepresidenan karena sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan rezim kekuasaannya.

berjemur di terik matahari,suara hilang karena teriakan itu semua adalah hasil jeritan dari rasa kebosanan terhadap hidup di bawah bayang-bayang kesengsaraan, teriakan kelaparan anak busung lapar menjadi penyemangat ruh perjuangan. Buruh, petani, nelayan hingga mahasiswa pun ikut andil dalam mengawal pemerintah yang hanya mengedepankan pencitraan.
*) Kepala Dept. SOSPOL BEM Unram 2009/2010

Azriansyah