Taujih Penyemangat :
Ada sebuah dialog antara Muhammad bin Husain dan Said. Kekuatan dalam dialog ini adalah pada firman Alloh. Bacalah firman Alloh ini dengan segenap hati dalam dialog ini. InsyaAlloh akan menggetarkan hati siapapun yang membacanya. Bahkan akan menguraikan air mata orang – orang yang berhati lembut. Orang – orang yang membaca firman Alloh dalam dialog ini, akan merasa malu untuk resah, gelisah, galau, kecewa dan apalagi untuk berputus asa menghadapi persoalan hidup.
Inilah dialognya
Muhammad bin Hamdan berkata “Ketika saya di majelis Yasid Bin Harun, saya bertanya kepada orang yang duduk di sampingku”. ‘Siapakah namamu? Jawabnya’ Said. Lalu saya bertanya tentang keadaannya. Jawabnya ’Kini telah habis belanjaku’. Lalu saya bertanya, Siapakah yang engkau harapkan untuk memenuhi kebutuhan belanjamu? Jawabnya, ‘Yasid bin Harun’. Maka saya berkata kepadanya, ’Jika demikian, ia (Yasid bin Harun) tidak akan bisa menyampaikan hajadmu. Dan tidak akan membantu meringankan kebutuhanmu’. Dia bertanya, ‘Darimana engkau mengetahui hal itu?’ Saya telah membaca dalam sebuah kitab, bahwasanya Alloh telah berfirman : “Demi kemulyaan-Ku dan kebesaran -Ku, dan kemurahan-Ku dan ketinggian-Ku di arasy. Aku akan mematahkan harapan orang yang berharap kepada selain-Ku dengan kekecewaan, dan akan Aku pakaikan kepadanya pakaian kehinaan di mata orang dan Aku singkirkan dari dekat-Ku dan Aku putuskan dari hubungan-Ku. Mengapa ia berharap kepada selayn Aku dalam kesukaran? Padahal kesukaran itu di tangan – Ku dan Aku yang dapat menyingkirkannya. Dan mengapa ia mengharap kepada selain Aku serta mengetuk pintu lain. Padahal kunci pintu – pintu itu tertutup, hanya pintu – Ku yang terbuka bagi siapa yang berdoa meminta kepada – Ku”
“Siapakah yang pernah mengharapkan Aku untuk menghalaukan kesukarannya lalu Aku kecewakan? Siapakah yang pernah mengharapkan Aku karena besarnya dosanya, lalu Aku putuskan harapannya. Atau siapakah yang pernah mengetuk pintu-Ku, lalu Aku bukakan? Aku telah mengadakan hubungan langsung antara-Ku dengan angan – angan dan harapan semua makhluk-Ku. Maka mengapakah engkau bersandar kepada selain Aku?
Dan Aku telah menyediakan semua harapan hamba-Ku, tetapi (mereka) tidak puas dengan perlindungan-Ku. Dan Aku telah memenuhi langit-Ku dengan makhluk yang tidak pernah jemu bertasbih kepada-Ku dari golongan malaikat dan Aku perintahkan mereka untuk tidak menutup pintu antara-Ku dengan hamba-Ku. Tetapi mereka tidak percaya kepada sabda-Ku. Tidaklah mengetahui siapa yang ditimpa bencana yang Aku turunkan, tiada yang dapat menyingkirkannya selain Aku. Maka mengapa Aku melihat ia (manusia) demgam segala angan- angan dan harapannya selalu berpaling dari-Ku. Mengapa ia tertipu dari selain-Ku.
Aku telah memberi kepadanya (manusia) dengan kemurahaan-Ku apa-apa yang tidak ia minta. Kemudian Aku yang mencabut daripadanya, lalu ia tidak minta kepada-Ku untuk mengembalikannya, dan (justru) meminta kepada selain-Ku. Apakah AKu memberi sebelum diminta, kemudian dimintai lalu tidak memberi kepada peminta? Apakah Aku bakhil(kikir), sehingga diangap bakhil oleh hamba-Ku? Bukankah dunia dan akhirat itu semua milik-Ku? Bukankah semua rahmat dan karunia itu ditangan-Ku? Bukankah dermawan dan kemurahan itu sifat-Ku? Bukankah hanya Aku tempat semua harapan? Maka siapakah yang dapat memutuskannya daripada-Ku? Dan apa pula yang diharap oleh orang-orang berharap. Andai Aku berkata kepada semua makhluk penduduk langit dan bumi, Mintalah kepada-Ku, kemudian Aku beri masing -masing orang fikiran apa yang terfikir pada semuanya, lalu Aku memberi semua itu, tidak akan mengurangi kekayaan-Ku meskipun sekecil debu. Bagaimana akan berkurang kekayaan yang lengkap, sedang Aku mengawasinya? Alangkah celaka orang putus asa dari rahmat-Ku. Alangkah kecewa orang bermaksiat kepada-Ku dan tidak memperhatikan Aku, dan tetap melakukan yang haram dan tiada malu kepada-Ku”
Orang-orang yang bertawakkal setalah berikhtiar dengan sungguh-sungguh, adalah orang-orang yang beruntung. Bagaimana tidak, bertawakkal ataupun tidak, manusia tdk bisa mengelak dari keputusan takdir-Nya. Orang-orang yang bertawakkal selalu berpikir positif atas apapun takdir yang harus dijalaninya. Kalaupun berupa kelapanganm ia tidak menjadi lupa diri. Kalau ternyata berupa kesempitan, ia tidak ernah kecewa apalagi putus asa. Yang demikian itu terjadi karena keyakinan tentang Alloh Maha Rahman terhunjam kuat dalam hati. Maka ia yakin keputusan apapun yang ditetapkan Alloh bagi dirinya merupakan keputusan terbaik karena Alloh menyayangi dirinya. Keputusan yang mengantarkan kepada keselamatan dan kesejahteraan hidup dunia akhirat.
azkia's site
Sunday, January 9, 2011
Wednesday, January 5, 2011
AKU RINDU "MEREKA YANG DULU"
Posted by Khaleeda on Feb 26, '08 10:37 PM for everyone
Bismillah...
Ada yang hangat membasuh pelupuk mata dan pipi ini. Endapan kristal yang tak mampu terbendung lagi, kini tumpah menguraikan kesedihan dan menyisakan isak tangis sesenggukan. ada yang bergemuruh di dalam dada. ada yang bergejolak di dalam jiwa. semua beradu memainkan nuansanya...Dengan segenap hati kurangkaikan kata demi kata untuk mereka yang kini entah di mana. Aku merasa kehilangan...sangat kehilangan! Karena itu, kucoba tuliskan rinduku, pada mereka yang dulu...
Ahh..masih terekam dalam ingatan, kisah-kisah penuh hikmah dalam bingkai perjuangan. Tatkala dakwah menjadi suatu kesadaran dan semangat berkorban bergelombang di seantero pelosok negeri, demi satu kejayaan, ISLAM! Para muslimah berbondong-bondong mengenakan hijab. Tak peduli resiko dan tantangan yang mereka hadapi begitu hebat. Ancaman dan cercaan dari orang-orang terdekat. Keluarga, pihak Sekolah, maupun sahabat. Adanya kecurigaan dan kekhawatiran akan mereka yang dianggap pengikut aliran sesat. Namun, tak segores pun rasa gentar tersirat di raut wajah mereka. Hanya ada satu cita, hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Sungguh! merekalah akhowat tangguh itu! Sekarang, jarang sekali aku melihat raut teduh nan bersahaja seperti mereka dulu. Wajah-wajah bersih dan bercahaya karena polesan air wudhu dan bedak tawadhu'. Kesederhanaan dan kepolosan yang lahir dari jiwa-jiwa yang tulus dan qona'ah. Kelembutan yang berbalut kedewasaan dan setegar batu karang. Ah, aku rindu.... Entah apa yang terjadi. Saat ini, yang sering tampak adalah pemandangan mereka yang mengaku akhwat, berpenampilan modis dengan pakaian serba ketat, ditambah wangi parfum yang menebar aroma syahwat, jilbab kecil berwarna-warni dengan motif mencolok, bahkan ada yang tidak mengenakan kaos kaki. Astaghfirullah...(wahai ukhti, jagalah dirimu dari fitnah lelaki...)
Masih membekas dalam ingatan, ketika masjid-masjid ramai dengan kaum lelaki yang sholat berjama’ah. Lingkaran-lingkaran di masjid, musholla, dan rumah-rumah yang menjadi sarana pembinaan. Sebuah proses pembentukan (Tansyi’ah), pemeliharaan (Ar-Ri’ayah), pengembangan (At-Tanmiyah), pengarahan (At-Taujih) dan pemberdayaan (At-Tauzhif). Yang kelak darinya akan muncul generasi-genarasi tangguh yang menjadi tonggak berdirinya suatu kejayaan (InsyaAllah...). Mereka, yang demi menghadiri lingkaran-lingkaran ilmu itu harus menempuh jarak bermil-mil, menyeberangi sungai, menerobos hutan dan semak belukar. Mereka dicurigai, dituduh, ditangkap, dipenjara, diburu, bahkan dibunuh oleh mata-mata musuh yang tidak akan pernah berhenti mengusik umat Islam sampai kita mengikuti agama mereka (musuh-musuh Allah-pen). Namun, percuma saja! Sia-sia. Mereka yang dipanggil mujahid-mujahidah sejati tidak akan pernah bergeming. Semua yang dilakukan musuh-musuh Allah itu tak kan sanggup menyiutkan nyali-nyali mereka. Yang ada malah api semangat yang kian berkobar, membunuh atau terbunuh, demi tegaknya Islam sebagai Ustadziatul ‘alam...Allahu Akbar!!
Masih segar dalam ingatan, ketika gelombang itu menggulung rezim-rezim tak bertanggung jawab. Negeri yang sejak dulu dininabobokan oleh penguasa-penguasa dzolim nan biadab. Pejabat-pejabat yang semakin menggila ingin menjadi konglomerat, sementara rakyat melarat dan negeri sekarat. Belum lagi hutang-hutang yang dipikulkan kepada generasi-generasi kita mendatang. Bah! Gelombang itu, pemuda-pemuda yang seolah terbangun dari tidur panjang yang melenakan, mencoba bangkit dengan mengusung semangat perubahan. Reformasi! Dulu, ketika aksi, pekikan takbir sang aktivis mampu menggetarkan jiwa-jiwa yang mendengarnya, bahkan langit seolah bergemuruh dan bumi serasa bergoncang. Tapi saat ini, pekikan takbir kita hanya membuat polisi-polisi yang berjaga senyam-senyum menahan tawa. Ke mana perginya kekuatan ruhiyah dalam gema takbir itu? Pekikan takbir yang keluar dari lisan-lisan yang basah oleh dzikir hingga membuat musuh ketar-ketir. Takbir yang bersumber dari hati yang bersih dan iman yang kokoh. Adakah yang salah dalam niatan kita? Apakah kuantitas yang semakin bertambah saat ini begitu melenakan hingga kualitas menjadi terabaikan?
Masih hangat dalam ingatan, saat aku menginjakkan kaki pertama kali di medan juang ini. Sambutan mesra dari mereka yang menawarkan sebentuk cinta. Cinta suci yang hanya dibingkai karenaNya. Cinta yang terikat karena adanya kesamaan: satu aqidah, satu cita, dan satu tujuan. Merekalah yang mengajarkanku indahnya jalinan persaudaraan. Tatkala ucap salam menjadi indah terdengar. Senyum-senyum tulus yang merekah dari wajah-wajah bercahaya. Sapa ramah yang terlontar dari mereka yang bersih hatinya...Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada mereka. Semoga Allah menjaga ukhuwah ini hingga ke syurga_amien.
Masih melekat dalam ingatan, ketika mereka bercerita tentang manisnya perjuangan dan indahnya pengorbanan. Tak hanya cerita bahagia bertabur suka, atau kisah pilu mengharu biru, namun ada juga kisah hikmah nan lucu. Ketika kakak-kakak pendahulu bercerita tentang betapa Agungnya Islam mengatur batas-batas pergaulan demi menjaga izzah (kehormatan) manusia di hadapan Allah dan makhlukNya. Kisah seorang akhwat yang ditinggal bicara sendiri karena tak mengetahui bahwa si ikhwan telah pergi, namun tak ia sadari karena mereka berbicara dengan saling memunggungi. Atau kisah seorang akhwat yang terjatuh ke selokan demi menghindari ikhwan yang datang dari arah berlawanan. Atau mungkin kisah seorang ikhwan yang kena “semprot” Murobbinya karena mendapat laporan telah membiarkan seorang akhwat di pinggir jalan menarik sepeda motornya yang mogok dengan kepayahan dan keletihan. Mungkin terkesan konyol dan berlebihan. Ya, mereka memang keterlaluan! Tapi itu mereka lakukan demi kehati-hatian. Tidak seperti interaksi ikhwan akhwat saat ini yang kelewat akrab dengan berpendapat bahwa “menjaga pendangan belum tentu menjaga hati”. Astaghfirullah... lalu apa makna dari perintah Allah dalam surah An-Nur ayat 30-31 bagi mereka saat ini? Di mana posisi hijab itu kini?
Ya, akhir-akhir ini ingatan-ingatan itu berkelebat dalam benak, menari-nari dalam otak, dan menyebabkan kerinduanku pada mereka yang dulu semakin memuncak. Aku rindu ghiroh mereka. Aku rindu militansi mereka. Ya Allah...hati ini sungguh merindukan semua itu...
Kala ku buka lembaran silam, untaian memori tertata rapi, sekotak kenangan tergenggam erat, seiring waktu yang berjalan begitu cepat. Di sini, kita merajut bingkai ketulusan, merangkai kebersamaan, dan indahnya sebuah jalinan. Tak ada yang mesti ditangisi. Tak ada yang mesti disesali. Berpisah tak mesti pergi. Karena namamu tetap bersarang di sini, di relung hati. Hanya untaian maaf dan berbuket ucapan terimakasih yang terselip di sela-sela do’a...Moga Allah mengumpulkan kita di jannahNya_amien..
Teriring lantunan nasyid yang mengalun dari dentingan hati...
Kehidupan bagaikan roda
Beribu zaman terus berputar
Namun satu tak akan pudar
Cahya Allah tetap membahana
Majulah sahabat mulya
Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa
Cita kita tetap satu jua
Cita kita tetap satu jua
(IZIS, Untukmu Syuhada)
aku sadar, rindu tinggallah rindu..
kini, aku harus bangkit dan menatap ke depan!
perjalanan masih terlalu panjang...
di sana, masih ada segelintir orang yang
masih memegang teguh prinsip-prinsip dan idealismenya
untuk tetap kembali pada asholah dakwah,
seperti pada awal-awal tarbiyah...
tak kalah meski tergerus masa..
tak goyah walau selangkah...
Let's Back To Asholah!!!!
Ikhwah fillah...Mari kita berlari menuju Allah,
memohon ampunan atas segala kesalahan,
memburu syurga dengan segenap pengorbanan..
meski air mata berderai-derai
meski peluh menganak-sungai
bergerak atau menggerakkan!!!
berkorban atau terkorbankan!!!
Allaahu Akbar!!
Bismillah...
Ada yang hangat membasuh pelupuk mata dan pipi ini. Endapan kristal yang tak mampu terbendung lagi, kini tumpah menguraikan kesedihan dan menyisakan isak tangis sesenggukan. ada yang bergemuruh di dalam dada. ada yang bergejolak di dalam jiwa. semua beradu memainkan nuansanya...Dengan segenap hati kurangkaikan kata demi kata untuk mereka yang kini entah di mana. Aku merasa kehilangan...sangat kehilangan! Karena itu, kucoba tuliskan rinduku, pada mereka yang dulu...
Ahh..masih terekam dalam ingatan, kisah-kisah penuh hikmah dalam bingkai perjuangan. Tatkala dakwah menjadi suatu kesadaran dan semangat berkorban bergelombang di seantero pelosok negeri, demi satu kejayaan, ISLAM! Para muslimah berbondong-bondong mengenakan hijab. Tak peduli resiko dan tantangan yang mereka hadapi begitu hebat. Ancaman dan cercaan dari orang-orang terdekat. Keluarga, pihak Sekolah, maupun sahabat. Adanya kecurigaan dan kekhawatiran akan mereka yang dianggap pengikut aliran sesat. Namun, tak segores pun rasa gentar tersirat di raut wajah mereka. Hanya ada satu cita, hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Sungguh! merekalah akhowat tangguh itu! Sekarang, jarang sekali aku melihat raut teduh nan bersahaja seperti mereka dulu. Wajah-wajah bersih dan bercahaya karena polesan air wudhu dan bedak tawadhu'. Kesederhanaan dan kepolosan yang lahir dari jiwa-jiwa yang tulus dan qona'ah. Kelembutan yang berbalut kedewasaan dan setegar batu karang. Ah, aku rindu.... Entah apa yang terjadi. Saat ini, yang sering tampak adalah pemandangan mereka yang mengaku akhwat, berpenampilan modis dengan pakaian serba ketat, ditambah wangi parfum yang menebar aroma syahwat, jilbab kecil berwarna-warni dengan motif mencolok, bahkan ada yang tidak mengenakan kaos kaki. Astaghfirullah...(wahai ukhti, jagalah dirimu dari fitnah lelaki...)
Masih membekas dalam ingatan, ketika masjid-masjid ramai dengan kaum lelaki yang sholat berjama’ah. Lingkaran-lingkaran di masjid, musholla, dan rumah-rumah yang menjadi sarana pembinaan. Sebuah proses pembentukan (Tansyi’ah), pemeliharaan (Ar-Ri’ayah), pengembangan (At-Tanmiyah), pengarahan (At-Taujih) dan pemberdayaan (At-Tauzhif). Yang kelak darinya akan muncul generasi-genarasi tangguh yang menjadi tonggak berdirinya suatu kejayaan (InsyaAllah...). Mereka, yang demi menghadiri lingkaran-lingkaran ilmu itu harus menempuh jarak bermil-mil, menyeberangi sungai, menerobos hutan dan semak belukar. Mereka dicurigai, dituduh, ditangkap, dipenjara, diburu, bahkan dibunuh oleh mata-mata musuh yang tidak akan pernah berhenti mengusik umat Islam sampai kita mengikuti agama mereka (musuh-musuh Allah-pen). Namun, percuma saja! Sia-sia. Mereka yang dipanggil mujahid-mujahidah sejati tidak akan pernah bergeming. Semua yang dilakukan musuh-musuh Allah itu tak kan sanggup menyiutkan nyali-nyali mereka. Yang ada malah api semangat yang kian berkobar, membunuh atau terbunuh, demi tegaknya Islam sebagai Ustadziatul ‘alam...Allahu Akbar!!
Masih segar dalam ingatan, ketika gelombang itu menggulung rezim-rezim tak bertanggung jawab. Negeri yang sejak dulu dininabobokan oleh penguasa-penguasa dzolim nan biadab. Pejabat-pejabat yang semakin menggila ingin menjadi konglomerat, sementara rakyat melarat dan negeri sekarat. Belum lagi hutang-hutang yang dipikulkan kepada generasi-generasi kita mendatang. Bah! Gelombang itu, pemuda-pemuda yang seolah terbangun dari tidur panjang yang melenakan, mencoba bangkit dengan mengusung semangat perubahan. Reformasi! Dulu, ketika aksi, pekikan takbir sang aktivis mampu menggetarkan jiwa-jiwa yang mendengarnya, bahkan langit seolah bergemuruh dan bumi serasa bergoncang. Tapi saat ini, pekikan takbir kita hanya membuat polisi-polisi yang berjaga senyam-senyum menahan tawa. Ke mana perginya kekuatan ruhiyah dalam gema takbir itu? Pekikan takbir yang keluar dari lisan-lisan yang basah oleh dzikir hingga membuat musuh ketar-ketir. Takbir yang bersumber dari hati yang bersih dan iman yang kokoh. Adakah yang salah dalam niatan kita? Apakah kuantitas yang semakin bertambah saat ini begitu melenakan hingga kualitas menjadi terabaikan?
Masih hangat dalam ingatan, saat aku menginjakkan kaki pertama kali di medan juang ini. Sambutan mesra dari mereka yang menawarkan sebentuk cinta. Cinta suci yang hanya dibingkai karenaNya. Cinta yang terikat karena adanya kesamaan: satu aqidah, satu cita, dan satu tujuan. Merekalah yang mengajarkanku indahnya jalinan persaudaraan. Tatkala ucap salam menjadi indah terdengar. Senyum-senyum tulus yang merekah dari wajah-wajah bercahaya. Sapa ramah yang terlontar dari mereka yang bersih hatinya...Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada mereka. Semoga Allah menjaga ukhuwah ini hingga ke syurga_amien.
Masih melekat dalam ingatan, ketika mereka bercerita tentang manisnya perjuangan dan indahnya pengorbanan. Tak hanya cerita bahagia bertabur suka, atau kisah pilu mengharu biru, namun ada juga kisah hikmah nan lucu. Ketika kakak-kakak pendahulu bercerita tentang betapa Agungnya Islam mengatur batas-batas pergaulan demi menjaga izzah (kehormatan) manusia di hadapan Allah dan makhlukNya. Kisah seorang akhwat yang ditinggal bicara sendiri karena tak mengetahui bahwa si ikhwan telah pergi, namun tak ia sadari karena mereka berbicara dengan saling memunggungi. Atau kisah seorang akhwat yang terjatuh ke selokan demi menghindari ikhwan yang datang dari arah berlawanan. Atau mungkin kisah seorang ikhwan yang kena “semprot” Murobbinya karena mendapat laporan telah membiarkan seorang akhwat di pinggir jalan menarik sepeda motornya yang mogok dengan kepayahan dan keletihan. Mungkin terkesan konyol dan berlebihan. Ya, mereka memang keterlaluan! Tapi itu mereka lakukan demi kehati-hatian. Tidak seperti interaksi ikhwan akhwat saat ini yang kelewat akrab dengan berpendapat bahwa “menjaga pendangan belum tentu menjaga hati”. Astaghfirullah... lalu apa makna dari perintah Allah dalam surah An-Nur ayat 30-31 bagi mereka saat ini? Di mana posisi hijab itu kini?
Ya, akhir-akhir ini ingatan-ingatan itu berkelebat dalam benak, menari-nari dalam otak, dan menyebabkan kerinduanku pada mereka yang dulu semakin memuncak. Aku rindu ghiroh mereka. Aku rindu militansi mereka. Ya Allah...hati ini sungguh merindukan semua itu...
Kala ku buka lembaran silam, untaian memori tertata rapi, sekotak kenangan tergenggam erat, seiring waktu yang berjalan begitu cepat. Di sini, kita merajut bingkai ketulusan, merangkai kebersamaan, dan indahnya sebuah jalinan. Tak ada yang mesti ditangisi. Tak ada yang mesti disesali. Berpisah tak mesti pergi. Karena namamu tetap bersarang di sini, di relung hati. Hanya untaian maaf dan berbuket ucapan terimakasih yang terselip di sela-sela do’a...Moga Allah mengumpulkan kita di jannahNya_amien..
Teriring lantunan nasyid yang mengalun dari dentingan hati...
Kehidupan bagaikan roda
Beribu zaman terus berputar
Namun satu tak akan pudar
Cahya Allah tetap membahana
Majulah sahabat mulya
Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa
Cita kita tetap satu jua
Cita kita tetap satu jua
(IZIS, Untukmu Syuhada)
aku sadar, rindu tinggallah rindu..
kini, aku harus bangkit dan menatap ke depan!
perjalanan masih terlalu panjang...
di sana, masih ada segelintir orang yang
masih memegang teguh prinsip-prinsip dan idealismenya
untuk tetap kembali pada asholah dakwah,
seperti pada awal-awal tarbiyah...
tak kalah meski tergerus masa..
tak goyah walau selangkah...
Let's Back To Asholah!!!!
Ikhwah fillah...Mari kita berlari menuju Allah,
memohon ampunan atas segala kesalahan,
memburu syurga dengan segenap pengorbanan..
meski air mata berderai-derai
meski peluh menganak-sungai
bergerak atau menggerakkan!!!
berkorban atau terkorbankan!!!
Allaahu Akbar!!
Atha Bin Abi Rabah
Posted by redaksi On 19 September 2010 No Commented
“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
“Di mana sahabatmu?.”
Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.”
Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.”
Mereka berkata, “Baik.”
Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.
Rujukan:
1- Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa’d: 2/386.
2- Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim: 3/310.
3- Sifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 2/211.
4- Ghuraru Al-Khashaish: 117.
5- Wafayat Al-A’yan, oleh Ibnu Khalkan: 3/261
6- Thabaqat Asy-Syairazi: lembar ke 17.
7- Nukatu Al-Hamya: 199.
8- Mizanu Al-I’tidal: 2/197
9- Tadzkiratu Al-Huffadz: 1/92.
10- Tahdzib At-Tahdzib: 7/199.
11- Nuzhatu Al-Khawathir: 1/85.
“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
“Di mana sahabatmu?.”
Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.”
Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.”
Mereka berkata, “Baik.”
Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.
Rujukan:
1- Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa’d: 2/386.
2- Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim: 3/310.
3- Sifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 2/211.
4- Ghuraru Al-Khashaish: 117.
5- Wafayat Al-A’yan, oleh Ibnu Khalkan: 3/261
6- Thabaqat Asy-Syairazi: lembar ke 17.
7- Nukatu Al-Hamya: 199.
8- Mizanu Al-I’tidal: 2/197
9- Tadzkiratu Al-Huffadz: 1/92.
10- Tahdzib At-Tahdzib: 7/199.
11- Nuzhatu Al-Khawathir: 1/85.
Monday, January 3, 2011
Menyulam kata untuk mengevaluasi 100 hari SBY-Boediono
Lain lubuk,lain pula Ikannya. Lain kepala lain pula pikiran dan pendapatnya.
“Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab,yakni orang yang berfikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tanpa pernah berpikir”(WA nance)
Tradisi ikut-ikutan program 100 hari bagi seorang presiden di Indonesia dikenal sejak masa reformasi, walaupun itu tidak sepenuhnya salah. Janji politik yang harus ditunaikan menjelma menjadi alaram pembangun dari tidur, Waktu tiga bulan masa pemerintahan begitu dinanti-nanti oleh seluruh kalangan masyarakat yang penasaran kira-kira langkah apa saja yang sudah diambil oleh sang presiden. Kemudian prestasi apa saja yang sudah dicapai dalam rentang waktu tersebut dan jikalau gagal, maka kenapa pemerintah bisa gagal ? namun opini yang berkembang dari para aktivis menyatakan bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan tugas 100 harinya.
28 Januari 2010 telah menjadi perhelatan akbar dan hari pertanggung jawaban sekaligus hari yang menegangkan oleh pasangan SBY-BD karena kamis bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY – Boediono. SBY – Boediono
mengejewantahkan lima strategi pokok selama 5 tahun yang
kemudian dikembangkan menjadi 15 program kerja pilihan pada 100 hari
pertama.
Lima strategi tersebut adalah pertama, melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai
kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya
menciptakan good government, good corporate dan good governance. Ketiga, demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa. Keempat, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi. Kelima, belajar dari pengalaman yang lalu dan dari negara-negara lain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi segenapkomponen bangsa.
Dari kelima strategi itu, Presiden SBY dengan berani menetapkan 15 program kerja 100 hari pertama yang disampaikan setelah Sidang Kabinet pada 5 November 2009 lalu di Kantor Presiden, Komplek Istana, Jakarta.
Program – program tersebut meliputi pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, meningkatkan daya listrik di seluruh Indonesia, meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, revitalisasi pabrik pupuk dan gula, mengurai keruwetan agrarian dan tata ruang, membangun infrastruktur, mengucurkan dana Rp. 100 triliun per tahun untuk kredit Usaha Kecil dan Menengah, mencari solusi pembiayaan dan investasi, merumuskan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan lingkungan, reformasi kesehatan, mensinkronkan antara pendidikan dan dunia kerja, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, serta sinergi antara pusat dan daerah.
Begitu program ini muncul, banyak kalangan yang memandang negative terhadap pelaksanaannya 100 hari ke depan. Program kerja dinilai omong kosong, hanya sebagai pencitraan, dan hanya untuk menjalankan tradisi yang sudah berjalan sejak reformasi.
Dalam perjalanannya, SBY dan Boediono menghadapi berbagai permasalahan yang menuntut ketegasan dan keberanian presiden dalam mengambil sikap. Kasus-kasus yang bermunculan satu persatu benar-benar menguji pemerintahan SBY. Saat Antasari Azhar ketua KPK tersandung kasus pembunuhan, yang lain pun bermunculan. Terakhir kasus Bank Century yang sangat controversial karena melibatkan Boediono sang wakil presiden dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Orang-orang terdekat beliau yang terlibat kasus membuat presiden melemah sehingga menghambat program kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, kesetiaan pun sulit ia dapatkan. Manakah pihak yang benar-benar berpihak padanya dan manakah pihak yang menjadi musuh dalam selimut.
Untuk masalah pembangunan, hambatan presiden adalah
masalah anggaran. Sebagian besar biaya untuk pembangunan berasal dari APBN. Ini tentu saja memberatkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan yang merata. Sementara itu APBD lebih banyak dihabiskan untuk gaji dan biaya-biaya birokrasi sehingga anggaran untuk pembangunan sangat kecil sekali.
Evaluai 100 Hari SBY – Boediono Mengenai evaluasi program kerja 100 hari SBY, maka pertanyaan yang akan muncul ialah indikator apa yang akan digunakan dalam penilaian tersebut? Di Amerika Serikat, hal tersebut dinilai dari berapa undang-undang yang mampu diloloskan demi suatu perubahan ke arah yang lebih baik dalam rentang waktu tersebut. Nah, di Indonesia indikator seperti apakah yang dapat mengevaluasi program-program ini?
Penulis memandang program kerja 100 hari SBY – Boediono. Masyarakat menilai program ini gagal total alias tidak berhasil. Pertama, tidak tegasnya SBY dalam menyikapi kasus perseteruan antara POLRI dan KPK beberapa waktu Lalu yang juga dinilai sangat lambat penanganannya oleh masyarakat. Ini sudah cukup menjadi bukti
Ketidak konsistenan beliau untuk memberantas kasus korupsi. Kedua, belum maksimalnya kerja para menteri. Hingga saat ini belum ada menteri yang mampu menunjukkan prestasinya, belum ada menteri yang menonjol,ada juga menteri yang tidak kompeten sama sekali bahkan mantan menteri ESDM KIB 1
menjadi menteri pertahanan di KIB 2 yang seharusnya diisi oleh kalangan militer. Ketiga, tersitanya waktu presiden dalam menyelesaikan kasus Bank Century yang berujung pada hak angket yang diajukan oleh anggota DPR, Indonesia pun di hebohkan dengan buku fenomenal yang berjudul “membongkar gurita cikeas- dibalik skandal bank century, buku ini hilang dari peredaran mungkin mengusik kalangan penguasa dan sekaligus menandakan buku ini mengandung unsur kebenaran, terlepas dari subjektivitas dan objektivitas kandungannya. Keempat, tindakan fatal yang dilakukan oleh presiden dalam kebijakan luar negerinya dengan Cina di bidang ekonomi yang terkesan tidak mempedulikan pengusaha lokal.
Gembar-gembor 100 hari SBY Boediono menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Beberapa kalangan memprediksikan bahwa evaluasi ini akan berujung pada reshuffle kabinet di mana SBY kembali akan mengganti menteri-menteri yang dianggapnya tidak dapat berkerja dengan baik seperti yang pernah dilakukan pada periode sebelumnya. Kemudian mahasiswa yang ikut meramaikan jalanan tanggal 28 Januari 2010 menuntut agar SBY mundur karena sudah tidak layak untuk melanjutkan kekuasaannya. Isu impeachment terhadap presiden yang pertama kali di keluarkan oleh SBY sendiri yang terkesan sang presiden suka curhat dan cengeng, impeechmen ini sangat sensitif sekali karena mengingatkan akan pemimpin sebelumnya yaitu mantan presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang juga diturunkan oleh mahasiswa. Dan jika hal itu terjadi lagi, berarti bangsa ini harus kembali ke titik awal.
Mengenai masalah pemecatan beberapa menteri, tanggapan yang muncul sangat beragam. Pertama, bila memang SBY melakukan hal tersebut itu artinya bahwa susunan kabinet saat ini sudah salah dari awal. Ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY dalam memilih orang-orang yang akan bekerja padanya untuk bersama-sama membangun Indonesia akan semakin besar. Kedua, pemecatan beberapa menteri penulis rasa tidak pantas karena 100 hari tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja mereka secara keseluruhan. Seharusnya menteri-menteri ini diberikan waktu lebih lama untuk membantu presiden.
Semoga evaluasi 100 hari ini dapat dijadikan cermin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Boediono beserta jajaran menteri akan pemerintahan mereka. Penulis berharap, reaksi masyarakat akan membuat dua penguasa ini dan menterinya, terutama sang presiden lebih tegas dalam bersikap dan menghilangkan rasa takut yang berlebihan. Tunjukkan pada masyarakat bahwa ia masih mampu memimpin Indonesia 5 tahun ke depan. Jika hal tersebut tidak sanggup dilaksanakan, maka pilihan terakhir adalah mundur dari kursi ksepresidenan karena sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan rezim kekuasaannya.
berjemur di terik matahari,suara hilang karena teriakan itu semua adalah hasil jeritan dari rasa kebosanan terhadap hidup di bawah bayang-bayang kesengsaraan, teriakan kelaparan anak busung lapar menjadi penyemangat ruh perjuangan. Buruh, petani, nelayan hingga mahasiswa pun ikut andil dalam mengawal pemerintah yang hanya mengedepankan pencitraan.
*) Kepala Dept. SOSPOL BEM Unram 2009/2010
Azriansyah
“Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab,yakni orang yang berfikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tanpa pernah berpikir”(WA nance)
Tradisi ikut-ikutan program 100 hari bagi seorang presiden di Indonesia dikenal sejak masa reformasi, walaupun itu tidak sepenuhnya salah. Janji politik yang harus ditunaikan menjelma menjadi alaram pembangun dari tidur, Waktu tiga bulan masa pemerintahan begitu dinanti-nanti oleh seluruh kalangan masyarakat yang penasaran kira-kira langkah apa saja yang sudah diambil oleh sang presiden. Kemudian prestasi apa saja yang sudah dicapai dalam rentang waktu tersebut dan jikalau gagal, maka kenapa pemerintah bisa gagal ? namun opini yang berkembang dari para aktivis menyatakan bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan tugas 100 harinya.
28 Januari 2010 telah menjadi perhelatan akbar dan hari pertanggung jawaban sekaligus hari yang menegangkan oleh pasangan SBY-BD karena kamis bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY – Boediono. SBY – Boediono
mengejewantahkan lima strategi pokok selama 5 tahun yang
kemudian dikembangkan menjadi 15 program kerja pilihan pada 100 hari
pertama.
Lima strategi tersebut adalah pertama, melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai
kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya
menciptakan good government, good corporate dan good governance. Ketiga, demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa. Keempat, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi. Kelima, belajar dari pengalaman yang lalu dan dari negara-negara lain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi segenapkomponen bangsa.
Dari kelima strategi itu, Presiden SBY dengan berani menetapkan 15 program kerja 100 hari pertama yang disampaikan setelah Sidang Kabinet pada 5 November 2009 lalu di Kantor Presiden, Komplek Istana, Jakarta.
Program – program tersebut meliputi pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, meningkatkan daya listrik di seluruh Indonesia, meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, revitalisasi pabrik pupuk dan gula, mengurai keruwetan agrarian dan tata ruang, membangun infrastruktur, mengucurkan dana Rp. 100 triliun per tahun untuk kredit Usaha Kecil dan Menengah, mencari solusi pembiayaan dan investasi, merumuskan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan lingkungan, reformasi kesehatan, mensinkronkan antara pendidikan dan dunia kerja, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, serta sinergi antara pusat dan daerah.
Begitu program ini muncul, banyak kalangan yang memandang negative terhadap pelaksanaannya 100 hari ke depan. Program kerja dinilai omong kosong, hanya sebagai pencitraan, dan hanya untuk menjalankan tradisi yang sudah berjalan sejak reformasi.
Dalam perjalanannya, SBY dan Boediono menghadapi berbagai permasalahan yang menuntut ketegasan dan keberanian presiden dalam mengambil sikap. Kasus-kasus yang bermunculan satu persatu benar-benar menguji pemerintahan SBY. Saat Antasari Azhar ketua KPK tersandung kasus pembunuhan, yang lain pun bermunculan. Terakhir kasus Bank Century yang sangat controversial karena melibatkan Boediono sang wakil presiden dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Orang-orang terdekat beliau yang terlibat kasus membuat presiden melemah sehingga menghambat program kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, kesetiaan pun sulit ia dapatkan. Manakah pihak yang benar-benar berpihak padanya dan manakah pihak yang menjadi musuh dalam selimut.
Untuk masalah pembangunan, hambatan presiden adalah
masalah anggaran. Sebagian besar biaya untuk pembangunan berasal dari APBN. Ini tentu saja memberatkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan yang merata. Sementara itu APBD lebih banyak dihabiskan untuk gaji dan biaya-biaya birokrasi sehingga anggaran untuk pembangunan sangat kecil sekali.
Evaluai 100 Hari SBY – Boediono Mengenai evaluasi program kerja 100 hari SBY, maka pertanyaan yang akan muncul ialah indikator apa yang akan digunakan dalam penilaian tersebut? Di Amerika Serikat, hal tersebut dinilai dari berapa undang-undang yang mampu diloloskan demi suatu perubahan ke arah yang lebih baik dalam rentang waktu tersebut. Nah, di Indonesia indikator seperti apakah yang dapat mengevaluasi program-program ini?
Penulis memandang program kerja 100 hari SBY – Boediono. Masyarakat menilai program ini gagal total alias tidak berhasil. Pertama, tidak tegasnya SBY dalam menyikapi kasus perseteruan antara POLRI dan KPK beberapa waktu Lalu yang juga dinilai sangat lambat penanganannya oleh masyarakat. Ini sudah cukup menjadi bukti
Ketidak konsistenan beliau untuk memberantas kasus korupsi. Kedua, belum maksimalnya kerja para menteri. Hingga saat ini belum ada menteri yang mampu menunjukkan prestasinya, belum ada menteri yang menonjol,ada juga menteri yang tidak kompeten sama sekali bahkan mantan menteri ESDM KIB 1
menjadi menteri pertahanan di KIB 2 yang seharusnya diisi oleh kalangan militer. Ketiga, tersitanya waktu presiden dalam menyelesaikan kasus Bank Century yang berujung pada hak angket yang diajukan oleh anggota DPR, Indonesia pun di hebohkan dengan buku fenomenal yang berjudul “membongkar gurita cikeas- dibalik skandal bank century, buku ini hilang dari peredaran mungkin mengusik kalangan penguasa dan sekaligus menandakan buku ini mengandung unsur kebenaran, terlepas dari subjektivitas dan objektivitas kandungannya. Keempat, tindakan fatal yang dilakukan oleh presiden dalam kebijakan luar negerinya dengan Cina di bidang ekonomi yang terkesan tidak mempedulikan pengusaha lokal.
Gembar-gembor 100 hari SBY Boediono menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Beberapa kalangan memprediksikan bahwa evaluasi ini akan berujung pada reshuffle kabinet di mana SBY kembali akan mengganti menteri-menteri yang dianggapnya tidak dapat berkerja dengan baik seperti yang pernah dilakukan pada periode sebelumnya. Kemudian mahasiswa yang ikut meramaikan jalanan tanggal 28 Januari 2010 menuntut agar SBY mundur karena sudah tidak layak untuk melanjutkan kekuasaannya. Isu impeachment terhadap presiden yang pertama kali di keluarkan oleh SBY sendiri yang terkesan sang presiden suka curhat dan cengeng, impeechmen ini sangat sensitif sekali karena mengingatkan akan pemimpin sebelumnya yaitu mantan presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang juga diturunkan oleh mahasiswa. Dan jika hal itu terjadi lagi, berarti bangsa ini harus kembali ke titik awal.
Mengenai masalah pemecatan beberapa menteri, tanggapan yang muncul sangat beragam. Pertama, bila memang SBY melakukan hal tersebut itu artinya bahwa susunan kabinet saat ini sudah salah dari awal. Ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY dalam memilih orang-orang yang akan bekerja padanya untuk bersama-sama membangun Indonesia akan semakin besar. Kedua, pemecatan beberapa menteri penulis rasa tidak pantas karena 100 hari tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja mereka secara keseluruhan. Seharusnya menteri-menteri ini diberikan waktu lebih lama untuk membantu presiden.
Semoga evaluasi 100 hari ini dapat dijadikan cermin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Boediono beserta jajaran menteri akan pemerintahan mereka. Penulis berharap, reaksi masyarakat akan membuat dua penguasa ini dan menterinya, terutama sang presiden lebih tegas dalam bersikap dan menghilangkan rasa takut yang berlebihan. Tunjukkan pada masyarakat bahwa ia masih mampu memimpin Indonesia 5 tahun ke depan. Jika hal tersebut tidak sanggup dilaksanakan, maka pilihan terakhir adalah mundur dari kursi ksepresidenan karena sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan rezim kekuasaannya.
berjemur di terik matahari,suara hilang karena teriakan itu semua adalah hasil jeritan dari rasa kebosanan terhadap hidup di bawah bayang-bayang kesengsaraan, teriakan kelaparan anak busung lapar menjadi penyemangat ruh perjuangan. Buruh, petani, nelayan hingga mahasiswa pun ikut andil dalam mengawal pemerintah yang hanya mengedepankan pencitraan.
*) Kepala Dept. SOSPOL BEM Unram 2009/2010
Azriansyah
Monday, December 27, 2010
Shalahuddin Al-Ayyubi
| Hasutan Sang Paderi | Kaum Salib Mengganas | Kemunculan Panglima Shalahuddin |
| Menutup Daulat Fatimiyah | Menyatupadukan Kuasa-Kuasa Islam | Perjuangan Merebut Baitul Maqdis |
| Kembali Ke Pangkuan Kaum Muslimin | Peribadi Seorang Panglima |.
..halahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. Beliau adalah pengasas Daulat Al-Ayyubiyah dan bergelar Sultan Shalahuddin. Seorang pahlawan Islam yang paling gagah berani dalam perang Salib dan berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan kaum Salib Kristian.
Hasutan Sang Paderi
Jerussalem merupakan kota Suci bagi ketiga-tiga agama samawi yakni Islam, Yahudi dan Kristian. Di dalam kota inilah letaknya Masjid Al-Aqsa yang dibangun oleh Nabi Sulaiman dan menjadi Kiblat pertama umat Islam sebelum beralih ke Baitullah di Makkah. Ketika Nabi Muhammad Isra’, singgah dan solat di masjid ini sebelum Mi’raj ke langit. Nabi Isa as. juga dilahirkan di Baitullaham berdekatan kota Jerussalam ini.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalam dapat direbut oleh kaum Muslimin dalam suatu penyerahan kuasa secara damai. Khalifah Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci itu atas desakan dan persetujuan Uskup Agung Sophronius.
Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah pentadbiran Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang Kristian dari seluruh dunia juga bebas datang untuk mengerjakan haji di kota Suci itu dan mengerjakan upacara keagamaannya. Orang-orang Kristian dari Eropah datang mengerjakan haji dalam jumlah rombongan yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentera. Sebahagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling dan diiringkan pula oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerussalem ditadbir Kerajaan Seljuk pada tahun 1070, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, kerana dasar toleransi agama. Akan tetapi apabila Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu tidak dibernarkan, dengan alasan keselamatan. Mungkin kerana upacara tersebut semakin berbahaya. Lebih-lebih lagi kumpulan-kumpulan yang mengambil bahagian dalam upacara itu sering menyebabkan pergaduhan dan huruhara. Disebutkan bahawa pada tahun 1064 ketua Uskup memimpin pasukan seramai 7000 orang jemaah haji yang terdiri dari kumpulan Baron-baron dan para pahlawan telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.
Itulah yang membimbangkan Kerajaan Seljuk. Jadi larangan itu demi keselamatan Jemaah haji Kristian itu sendiri. Malangnya, tindakan Seljuk itu menjadi salah anggapan oleh orang-orang Eropah. Ketua-ketua agama mereka telah berkempin bahawa kebebasan agamanya telah dicabuli oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam.
Patriach Ermite adalah paderi yang paling lantang dan bertungkus lumus mengapi-apikan kemarahan umat Kristian. Dia asalnya seorang tentera, tapi kemudian menjadi paderi, berwatak kepala angin dan cepat marah. Dalam usahanya untuk menarik simpati umat Kristian, Ermite telah berkeliling Eropah dengan mengenderai seekor kaldai sambil memikul kayu Salib besar, berkaki ayam dan berpakaian compang camping. Dia telah berpidato di hadapan orang ramai sama ada di dalam gereja, di jalan-jalan raya atau di pasar-pasar. Dia menceritakan sama ada benar atau bohong kisah kunjungannya ke Baitul Maqdis.
Katanya, dia melihat pencerobohan kesucian ke atas kubur Nabi Isa oleh Kerajaan Turki Seljuk. Diceritakan bahawa jemaah haji Kristian telah dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem. Serentak dengan itu, dia menggalakkan orang ramai agar bangkit menyertai perang untuk membebaskan Jerussalem dari tangan orang Islam. Hasutan Ermite berhasil dengan menggalakkan. Paus Urbanus II mengumumkan ampunan seluruh dosa bagi yang bersedia dengan suka rela mengikuti Perang Suci itu, sekalipun sebelumnya dia merupakan seorang perompak, pembunuh, pencuri dan sebagainya. Maka keluarlah ribuan umat Kristian untuk mengikuti perang dengan memikul senjata untuk menyertai perang Suci. Mereka yang ingin mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda Salib di badannya, oleh kerana itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan tarikh 15 Ogos 1095 bagi pemberangkatan tentera Salib menuju Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan habuan. Mereka mendesak Paderi Patriach Ermite agar berangkat memimpin mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan, kemudian disusul oleh kaum tani dari Jerman seramai 20.000, datang lagi 200,000 orang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang lelaki dan perempuan. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merompak, memperkosa, berzina dan mabuk-mabuk. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu mengalu-alukan dan memberikan bantuan seperlunya.
Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristian, mereka tidak senang dan bertindak balas. Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Dari 300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 sahaja yang selamat sampai di Semenanjung Thracia di bawah pimpinan sang Rahib.
Apabila pasukan Salib itu telah mendarat di pantai Asia kecil, pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah menyambutnya dengan hayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara kaum Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan hancur binasanya seluruh pasukan Salib itu.
^ Kembali ke atas ^
Kaum Salib Mengganas
Setelah kaum Salib yang dipimpin oleh para Rahib yang tidak tahu strategi perang itu musnah sama sekali, muncullah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 askar, kemudian menyeberang selat Bosfur dan melanggar wliayah Islam bagaikan air bah. Pasukan kaum Muslimin yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan mati-matian di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib, memaksa Kalij Arselan berundur dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang mencurah-curah dari negara-negara Eropah. Sedangkan Kalij Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, kerana mereka sibuk dengan kemelut dalaman masing-masing.
Setelah berlaku pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mara dan mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mahu menyerah kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. Akhirnya pada 15 Julai 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah cita-cita mereka.
Berlakulah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Kaum kafir Kristian itu telah menyembelih penduduk awam Islam lelaki, perempuan dan kanak-kanak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristian yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang sangat melampau itu telah dikutuk dan diperkatakan oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Seorang ahli sejarah Perancis, Michaud berkata: “Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099, orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang cuba mengelak dari kematian dengan cara menghendap-hendap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu.
Tentera Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang Islam cuba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu memijak-mijak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba menyelamatkan diri dengan sia-sia.
Raymond d’Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: “Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan mencapai tali kekang kuda.”
Aksi pembantaian hanya berhenti beberapa saat saja, yakni ketika pasukan Salib itu berkumpul untuk menyatakan kesyukuran di atas kemenangan mereka. Tapi sebaik saja upacara itu selesai, pembantaian diteruskan dengan lebih ganas lagi.
Seterusnya Michaud berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian pertama, semua yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan bumbung-bumbung rumah, mereka dibakar hidup -hidup , diheret dari tempat persembunyian bawah tanah, diheret ke hadapan umum dan dikurbankan di tiang gantungan.
Air mata wanita, tangisan kanak-kanak, begitu juga pemandangan dari tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredhakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau dikurangkan bilangannya dengan perhambaan atau kerja paksa yang mengerikan.”
Gustav Le Bon telah mensifatkan penyembelihan kaum Salib Kristian sebagaimana kata-katanya: “Kaum Salib kita yang “bertakwa” itu tidak memadai dengan melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerosakan dan penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu mesyuarat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada mereka yang jumlah mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua dalam masa 8 hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak seorang pun yang terkecuali.
Ahli sejarah Kristian yang lain, Mill, mengatakan: “Ketika itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diheret ke tempat-tempat umum dan dibunuh. Semua kaum wanita yang sedang menyusu, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah padang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh kanak-kanak yang koyak-koyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”
^ Kembali ke atas ^
Kemunculan Panglima Shalahuddin
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu boleh terlepas dalam sekelip mata. Mereka sedar akan kesilapan mereka kerana berpecah belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan Khalifah agar mengambil berat dalam perkara ini.
Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota Suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentera Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi baru lahir ke dunia, yakni pada tahun 1138 Masihi. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin.
Selain itu, Shalahuddin juga mendapat pendidikan dari bapa saudaranya Asasuddin Syirkuh seorang negarawan dan panglima perang Syria yang telah berhasil mengalahkan tentera Salib sama ada di Syria ataupun di Mesir. Dalam setiap peperangan yang dipimpin oleh panglima Asasuddin, Shalahuddin sentiasa ikut sebagai tentera pejuang sekalipun usianya masih muda.
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tenteranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al-Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin lemah.Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin popular di kalangan istana dan rakyat.
Dengan senyap-senyap dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh daripada berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik jemputan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin dibenarkan balik ke Damsyik.
Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentera yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemaraan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih pantas dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan aib sekali.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin terus mara ke ibu kota Kaherah dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh buat kali kedua.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum bunuh.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
^ Kembali ke atas ^
Menutup Daulat Fatimiyah
Wazir Besar Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, kerana beliau wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir Besar menggantikan Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya.
Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shahalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. Akan tetapi Shalahuddin tidak mahu bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit kuat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang berlaku di dalam negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat sudah tidak mendoakan dirinya lagi. Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini sememangnya telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam lebih-lebih lagi di Mesir sendiri. Apalagi setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin Al-Ayyubi telah merasmikan Universiti Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
^ Kembali ke atas ^
Menyatupadukan Kuasa-Kuasa Islam
Walaupun sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin berhati lembut, tidak mahu menipu atasan demi kekuasaan dunia. Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mahu merampas kuasa untuk kepentingan peribadi. Kerana apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk menghalau tentera Salib dari bumi Jerussalem. Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatu padukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa Wazir Besar Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap taat setia pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya Ismail yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. Para ulama dan pembesar menginginkan agar Emir Salahudin mengambil alih kuasa kerana tidak suka kepada Mulk al-Shalih keran selalu cuai melaksanakan tanggungjawabnya dan suka bersenang-senang. Akan tetapi Shalahuddin tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Apabila Damsyik terdedah pada serangan kaum Salib, barulah Shalahudin menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu daripada jatuh. Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan menubuhkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Emirnya yang pertama. Tiada berapa lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh askar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tenteranya cukup ramai untuk mengusir tentera kafir Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula Tanah Suci berhasil dengan segera.
^ Kembali ke atas ^
Perjuangan Merebut Baitul Maqdis
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin menumpukan perhatiannya untuk memusnahkan tentera Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu semula. Banyak rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya tercapai. Siasah yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentera Salib untuk berdamai. Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahawa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. Sultan sudah menjangka bahawa orang-orang kafir Kristian itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditandatangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan dalam suasana perdamaian adalah tindakan seorang panglima Salib Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya balik ke Jerussalem. Dalam perjalanan, mereka telah berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berfikir panjang, Count dan kuncu-kuncunya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara perempuan kepada Shalahuddin.
Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pencabulan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawapan. Ekoran kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.
Dalam pertempuran ini, Shalahuddin menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan mempersendakan Nabi Muhammad itu digiring ke hadapan beliau.
“Nah, bagaimana jadinya yang telah nampak oleh engkau sekarang? Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaan engkau itu?” tanya Sultan Shalahuddin.
Shalahuddin mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mahu. Maka dia pun dihukum bunuh kerana telah menghina Nabi Muhammad.
^ Kembali ke atas ^
Kembali Ke Pangkuan Kaum Muslimin
Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin pada matlamat utamanya iaitu merebut Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan keperluan asas. Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam perang Hittin. Tentera pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan menyerukan seruan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. Akan tetapi pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Kerana mereka menolak seruan, Sultan Shalahuddin pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak panah dan manjanik.
Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahawa pintu benteng hampir musnah oleh serangan kaum Muslimin. Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu masa untuk melanggar masuk. Beberapa pemimpin Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.
Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata: “Aku tidak akan menaklukkan kota ini keculai dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu.”
Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, memujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin tidak menjawabnya.
Akhirnya ketua Kristian itu berkata: “Jika tuan tidak mahu berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin seramai 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa yang boleh dimanfaatkan lagi. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, kerana sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan orang-orang tuan terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi yang tuan boleh harapkan?”
Setelah mendengar kata-kata nekat dan ugutan itu, Sultan Shalahuddin menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk mesti membayar wang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan kanak-kanak dua dinar sahaja. Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke mana-mana tempat yang aman untuk mereka. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup menunaikannya sehinnga lewat dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan. Ternyata ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar wang tebusan. Semua mereka ditahan sebagai hamba.
Maka pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah s.w.t. Air mata kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin sebaik saja memasuki kota itu. Para ulama dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tarikh tersebut bersamaan dengan tarikh Isra’ Nabi S.A.W dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Pada hari Jumaat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan solat Jumaat di Masjidil Aqsa kerana sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhan oleh kaum Kristian. Barulah pada Jumaat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumaat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. Kadi Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin.
Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropah marah. Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropah berangkat untuk merebut kota Suci itu semula. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun demikian, Shalahuddin masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang tamat. Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin pulang kerahmatullah. Semoga Allah mencucuri rahmat ke atasnya, amin.
^ Kembali ke atas ^
Peribadi Seorang Panglima
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi terbilang sebagai pahlawan dan Panglima Islam yang besar. Pada beliau terkumpul sifat-sifat berani, wara’, zuhud, khusyu’, pemurah, pemaaf, tegas dan lain-lain sifat terpuji. Para ulama dan penulis sejarah telah memberikan kepujian yang melangit. Sifat pemurah dan pemaafnya diakui oleh lawan mahupun kawan.
Seorang penulis sejarah mengatakan: “Hari kematiannya merupakan kehilangan besar bagi agama Islam dan kaum Muslimin, kerana mereka tidak pernah menderita semenjak kehilangan keempat-empat Khalifah yang pertama (Khulafaurrasyidin). Istana, kerajaan dan dunia diliputi oleh wajah-wajah yang tertunduk, seluruh kota terbenam dalam dukacita, dan rakyat mengikuti keranda jenazahnya dengan tangisan dan ratapan.”
Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam. Hidup nya sangat sederhana. Minumnya hanya air kosong, makanannya sederhana, pakaiannya dari jenis yang kasar. Beliau sentiasa menjaga waktu-waktu solat dan mengerjakannya secara berjamaah. Dikatakan bahawa beliau sepanjang hayatnya tidak pernah terlepas dari mengerjakan solat jamaah, bahkan ketika sakit yang membawa pada ajalnya, beliau masih tetap mengerjakan solat berjamaah. Sebaik saja imam masuk berdiri di tempatnya, beliau sudah siap di dalam saf. Beliau suka mendengarkan bacaan Al-Quran, Hadis dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang Hadis, beliau memang mendengarkannya secara teratur, sehingga beliau boleh mengenal jenis-jenis hadis. Hatinya sangat lembut dan pemurah, sering menangis apabila mendengarkan hadis.
Di dalam buku The Historians’ History of the World disebutkan sifat-sifat Shalahuddin sebagai berikut: “Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sama seperti halnya dengan Emir Imamuddin Zanki dan Emir Nuruddin Zanki, beliau juga merupakan seorang Muslim yang taat. Sudah menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al-Quran kepada pasukannya menjelang pertempuran berlangsung. Beliau juga sangat disiplin mengqada setiap puasanya yang tertinggal dan tidak pernah lalai mengerjakan solat lima waktu sampai pada akhir hayatnya. Minumannya tidak lain dari air kosong saja, memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan dirinya untuk dipanggil ke depan pengadilan. Beliau mengajar sendiri anak-anaknya mengenai agama Islam.......” Seluruh kaum Muslimin yang menyaksikan kewafatannya menitiskan air mata apabila Sultan yang mengepalai negara yang terbentang luas dari Asia hingga ke Afrika itu hanya meninggalkan warisan 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas, tidak punya tanah atau kebun. Padahal berkhidmat pada kerajaan berpuluh tahun dan memegang jawatan sebagai panglima perang dan Menteri Besar sebelum menubuhkan Emirat Ayyubiyah.
Kain yang dibuat kafannya adalah betul-betul dari warisan beliau yang jelas-jelas halal dan sangat sederhana. Anak beliau yang bernama Fadhal telah masuk ke liang lahad meletakkan jenazah ayahnya. Dikatakan bahawa beliau dikebumikan bersama-sama pedangnya yang dipergunakan dalam setiap peperangan agar dapat menjadi saksi dan dijadikannya tongkat kelak pada hari kiamat. Rahimahullahu anh.
Ketika buku ini ditulis, Baitul Maqdis sedang berada di dalam kekuasaan golongan 'Bintang Enam' dengan negaranya yang dipaksakan. Jika sekiranya ada kepala negara yang bersifat seperti Sultan Shalahuddin di Timur Tengah sana, insya Allah Baitul Maqdis dapat direbut semula oleh kaum Muslimi
| Menutup Daulat Fatimiyah | Menyatupadukan Kuasa-Kuasa Islam | Perjuangan Merebut Baitul Maqdis |
| Kembali Ke Pangkuan Kaum Muslimin | Peribadi Seorang Panglima |.
..halahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. Beliau adalah pengasas Daulat Al-Ayyubiyah dan bergelar Sultan Shalahuddin. Seorang pahlawan Islam yang paling gagah berani dalam perang Salib dan berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan kaum Salib Kristian.
Hasutan Sang Paderi
Jerussalem merupakan kota Suci bagi ketiga-tiga agama samawi yakni Islam, Yahudi dan Kristian. Di dalam kota inilah letaknya Masjid Al-Aqsa yang dibangun oleh Nabi Sulaiman dan menjadi Kiblat pertama umat Islam sebelum beralih ke Baitullah di Makkah. Ketika Nabi Muhammad Isra’, singgah dan solat di masjid ini sebelum Mi’raj ke langit. Nabi Isa as. juga dilahirkan di Baitullaham berdekatan kota Jerussalam ini.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalam dapat direbut oleh kaum Muslimin dalam suatu penyerahan kuasa secara damai. Khalifah Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci itu atas desakan dan persetujuan Uskup Agung Sophronius.
Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah pentadbiran Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang Kristian dari seluruh dunia juga bebas datang untuk mengerjakan haji di kota Suci itu dan mengerjakan upacara keagamaannya. Orang-orang Kristian dari Eropah datang mengerjakan haji dalam jumlah rombongan yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentera. Sebahagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling dan diiringkan pula oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerussalem ditadbir Kerajaan Seljuk pada tahun 1070, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, kerana dasar toleransi agama. Akan tetapi apabila Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu tidak dibernarkan, dengan alasan keselamatan. Mungkin kerana upacara tersebut semakin berbahaya. Lebih-lebih lagi kumpulan-kumpulan yang mengambil bahagian dalam upacara itu sering menyebabkan pergaduhan dan huruhara. Disebutkan bahawa pada tahun 1064 ketua Uskup memimpin pasukan seramai 7000 orang jemaah haji yang terdiri dari kumpulan Baron-baron dan para pahlawan telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.
Itulah yang membimbangkan Kerajaan Seljuk. Jadi larangan itu demi keselamatan Jemaah haji Kristian itu sendiri. Malangnya, tindakan Seljuk itu menjadi salah anggapan oleh orang-orang Eropah. Ketua-ketua agama mereka telah berkempin bahawa kebebasan agamanya telah dicabuli oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam.
Patriach Ermite adalah paderi yang paling lantang dan bertungkus lumus mengapi-apikan kemarahan umat Kristian. Dia asalnya seorang tentera, tapi kemudian menjadi paderi, berwatak kepala angin dan cepat marah. Dalam usahanya untuk menarik simpati umat Kristian, Ermite telah berkeliling Eropah dengan mengenderai seekor kaldai sambil memikul kayu Salib besar, berkaki ayam dan berpakaian compang camping. Dia telah berpidato di hadapan orang ramai sama ada di dalam gereja, di jalan-jalan raya atau di pasar-pasar. Dia menceritakan sama ada benar atau bohong kisah kunjungannya ke Baitul Maqdis.
Katanya, dia melihat pencerobohan kesucian ke atas kubur Nabi Isa oleh Kerajaan Turki Seljuk. Diceritakan bahawa jemaah haji Kristian telah dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem. Serentak dengan itu, dia menggalakkan orang ramai agar bangkit menyertai perang untuk membebaskan Jerussalem dari tangan orang Islam. Hasutan Ermite berhasil dengan menggalakkan. Paus Urbanus II mengumumkan ampunan seluruh dosa bagi yang bersedia dengan suka rela mengikuti Perang Suci itu, sekalipun sebelumnya dia merupakan seorang perompak, pembunuh, pencuri dan sebagainya. Maka keluarlah ribuan umat Kristian untuk mengikuti perang dengan memikul senjata untuk menyertai perang Suci. Mereka yang ingin mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda Salib di badannya, oleh kerana itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan tarikh 15 Ogos 1095 bagi pemberangkatan tentera Salib menuju Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan habuan. Mereka mendesak Paderi Patriach Ermite agar berangkat memimpin mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan, kemudian disusul oleh kaum tani dari Jerman seramai 20.000, datang lagi 200,000 orang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang lelaki dan perempuan. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merompak, memperkosa, berzina dan mabuk-mabuk. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu mengalu-alukan dan memberikan bantuan seperlunya.
Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristian, mereka tidak senang dan bertindak balas. Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Dari 300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 sahaja yang selamat sampai di Semenanjung Thracia di bawah pimpinan sang Rahib.
Apabila pasukan Salib itu telah mendarat di pantai Asia kecil, pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah menyambutnya dengan hayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara kaum Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan hancur binasanya seluruh pasukan Salib itu.
^ Kembali ke atas ^
Kaum Salib Mengganas
Setelah kaum Salib yang dipimpin oleh para Rahib yang tidak tahu strategi perang itu musnah sama sekali, muncullah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 askar, kemudian menyeberang selat Bosfur dan melanggar wliayah Islam bagaikan air bah. Pasukan kaum Muslimin yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan mati-matian di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib, memaksa Kalij Arselan berundur dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang mencurah-curah dari negara-negara Eropah. Sedangkan Kalij Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, kerana mereka sibuk dengan kemelut dalaman masing-masing.
Setelah berlaku pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mara dan mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mahu menyerah kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. Akhirnya pada 15 Julai 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah cita-cita mereka.
Berlakulah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Kaum kafir Kristian itu telah menyembelih penduduk awam Islam lelaki, perempuan dan kanak-kanak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristian yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang sangat melampau itu telah dikutuk dan diperkatakan oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Seorang ahli sejarah Perancis, Michaud berkata: “Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099, orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang cuba mengelak dari kematian dengan cara menghendap-hendap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu.
Tentera Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang Islam cuba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu memijak-mijak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba menyelamatkan diri dengan sia-sia.
Raymond d’Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: “Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan mencapai tali kekang kuda.”
Aksi pembantaian hanya berhenti beberapa saat saja, yakni ketika pasukan Salib itu berkumpul untuk menyatakan kesyukuran di atas kemenangan mereka. Tapi sebaik saja upacara itu selesai, pembantaian diteruskan dengan lebih ganas lagi.
Seterusnya Michaud berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian pertama, semua yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan bumbung-bumbung rumah, mereka dibakar hidup -hidup , diheret dari tempat persembunyian bawah tanah, diheret ke hadapan umum dan dikurbankan di tiang gantungan.
Air mata wanita, tangisan kanak-kanak, begitu juga pemandangan dari tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredhakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau dikurangkan bilangannya dengan perhambaan atau kerja paksa yang mengerikan.”
Gustav Le Bon telah mensifatkan penyembelihan kaum Salib Kristian sebagaimana kata-katanya: “Kaum Salib kita yang “bertakwa” itu tidak memadai dengan melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerosakan dan penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu mesyuarat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada mereka yang jumlah mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua dalam masa 8 hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak seorang pun yang terkecuali.
Ahli sejarah Kristian yang lain, Mill, mengatakan: “Ketika itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diheret ke tempat-tempat umum dan dibunuh. Semua kaum wanita yang sedang menyusu, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah padang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh kanak-kanak yang koyak-koyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”
^ Kembali ke atas ^
Kemunculan Panglima Shalahuddin
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu boleh terlepas dalam sekelip mata. Mereka sedar akan kesilapan mereka kerana berpecah belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan Khalifah agar mengambil berat dalam perkara ini.
Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota Suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentera Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi baru lahir ke dunia, yakni pada tahun 1138 Masihi. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin.
Selain itu, Shalahuddin juga mendapat pendidikan dari bapa saudaranya Asasuddin Syirkuh seorang negarawan dan panglima perang Syria yang telah berhasil mengalahkan tentera Salib sama ada di Syria ataupun di Mesir. Dalam setiap peperangan yang dipimpin oleh panglima Asasuddin, Shalahuddin sentiasa ikut sebagai tentera pejuang sekalipun usianya masih muda.
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tenteranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al-Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin lemah.Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin popular di kalangan istana dan rakyat.
Dengan senyap-senyap dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh daripada berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik jemputan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin dibenarkan balik ke Damsyik.
Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentera yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemaraan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih pantas dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan aib sekali.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin terus mara ke ibu kota Kaherah dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh buat kali kedua.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum bunuh.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
^ Kembali ke atas ^
Menutup Daulat Fatimiyah
Wazir Besar Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, kerana beliau wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir Besar menggantikan Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya.
Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shahalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. Akan tetapi Shalahuddin tidak mahu bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit kuat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang berlaku di dalam negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat sudah tidak mendoakan dirinya lagi. Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini sememangnya telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam lebih-lebih lagi di Mesir sendiri. Apalagi setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin Al-Ayyubi telah merasmikan Universiti Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
^ Kembali ke atas ^
Menyatupadukan Kuasa-Kuasa Islam
Walaupun sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin berhati lembut, tidak mahu menipu atasan demi kekuasaan dunia. Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mahu merampas kuasa untuk kepentingan peribadi. Kerana apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk menghalau tentera Salib dari bumi Jerussalem. Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatu padukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa Wazir Besar Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap taat setia pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya Ismail yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. Para ulama dan pembesar menginginkan agar Emir Salahudin mengambil alih kuasa kerana tidak suka kepada Mulk al-Shalih keran selalu cuai melaksanakan tanggungjawabnya dan suka bersenang-senang. Akan tetapi Shalahuddin tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Apabila Damsyik terdedah pada serangan kaum Salib, barulah Shalahudin menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu daripada jatuh. Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan menubuhkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Emirnya yang pertama. Tiada berapa lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh askar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tenteranya cukup ramai untuk mengusir tentera kafir Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula Tanah Suci berhasil dengan segera.
^ Kembali ke atas ^
Perjuangan Merebut Baitul Maqdis
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin menumpukan perhatiannya untuk memusnahkan tentera Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu semula. Banyak rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya tercapai. Siasah yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentera Salib untuk berdamai. Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahawa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. Sultan sudah menjangka bahawa orang-orang kafir Kristian itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditandatangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan dalam suasana perdamaian adalah tindakan seorang panglima Salib Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya balik ke Jerussalem. Dalam perjalanan, mereka telah berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berfikir panjang, Count dan kuncu-kuncunya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara perempuan kepada Shalahuddin.
Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pencabulan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawapan. Ekoran kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.
Dalam pertempuran ini, Shalahuddin menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan mempersendakan Nabi Muhammad itu digiring ke hadapan beliau.
“Nah, bagaimana jadinya yang telah nampak oleh engkau sekarang? Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaan engkau itu?” tanya Sultan Shalahuddin.
Shalahuddin mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mahu. Maka dia pun dihukum bunuh kerana telah menghina Nabi Muhammad.
^ Kembali ke atas ^
Kembali Ke Pangkuan Kaum Muslimin
Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin pada matlamat utamanya iaitu merebut Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan keperluan asas. Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam perang Hittin. Tentera pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan menyerukan seruan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. Akan tetapi pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Kerana mereka menolak seruan, Sultan Shalahuddin pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak panah dan manjanik.
Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahawa pintu benteng hampir musnah oleh serangan kaum Muslimin. Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu masa untuk melanggar masuk. Beberapa pemimpin Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.
Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata: “Aku tidak akan menaklukkan kota ini keculai dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu.”
Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, memujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin tidak menjawabnya.
Akhirnya ketua Kristian itu berkata: “Jika tuan tidak mahu berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin seramai 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa yang boleh dimanfaatkan lagi. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, kerana sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan orang-orang tuan terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi yang tuan boleh harapkan?”
Setelah mendengar kata-kata nekat dan ugutan itu, Sultan Shalahuddin menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk mesti membayar wang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan kanak-kanak dua dinar sahaja. Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke mana-mana tempat yang aman untuk mereka. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup menunaikannya sehinnga lewat dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan. Ternyata ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar wang tebusan. Semua mereka ditahan sebagai hamba.
Maka pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah s.w.t. Air mata kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin sebaik saja memasuki kota itu. Para ulama dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tarikh tersebut bersamaan dengan tarikh Isra’ Nabi S.A.W dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Pada hari Jumaat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan solat Jumaat di Masjidil Aqsa kerana sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhan oleh kaum Kristian. Barulah pada Jumaat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumaat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. Kadi Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin.
Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropah marah. Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropah berangkat untuk merebut kota Suci itu semula. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun demikian, Shalahuddin masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang tamat. Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin pulang kerahmatullah. Semoga Allah mencucuri rahmat ke atasnya, amin.
^ Kembali ke atas ^
Peribadi Seorang Panglima
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi terbilang sebagai pahlawan dan Panglima Islam yang besar. Pada beliau terkumpul sifat-sifat berani, wara’, zuhud, khusyu’, pemurah, pemaaf, tegas dan lain-lain sifat terpuji. Para ulama dan penulis sejarah telah memberikan kepujian yang melangit. Sifat pemurah dan pemaafnya diakui oleh lawan mahupun kawan.
Seorang penulis sejarah mengatakan: “Hari kematiannya merupakan kehilangan besar bagi agama Islam dan kaum Muslimin, kerana mereka tidak pernah menderita semenjak kehilangan keempat-empat Khalifah yang pertama (Khulafaurrasyidin). Istana, kerajaan dan dunia diliputi oleh wajah-wajah yang tertunduk, seluruh kota terbenam dalam dukacita, dan rakyat mengikuti keranda jenazahnya dengan tangisan dan ratapan.”
Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam. Hidup nya sangat sederhana. Minumnya hanya air kosong, makanannya sederhana, pakaiannya dari jenis yang kasar. Beliau sentiasa menjaga waktu-waktu solat dan mengerjakannya secara berjamaah. Dikatakan bahawa beliau sepanjang hayatnya tidak pernah terlepas dari mengerjakan solat jamaah, bahkan ketika sakit yang membawa pada ajalnya, beliau masih tetap mengerjakan solat berjamaah. Sebaik saja imam masuk berdiri di tempatnya, beliau sudah siap di dalam saf. Beliau suka mendengarkan bacaan Al-Quran, Hadis dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang Hadis, beliau memang mendengarkannya secara teratur, sehingga beliau boleh mengenal jenis-jenis hadis. Hatinya sangat lembut dan pemurah, sering menangis apabila mendengarkan hadis.
Di dalam buku The Historians’ History of the World disebutkan sifat-sifat Shalahuddin sebagai berikut: “Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sama seperti halnya dengan Emir Imamuddin Zanki dan Emir Nuruddin Zanki, beliau juga merupakan seorang Muslim yang taat. Sudah menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al-Quran kepada pasukannya menjelang pertempuran berlangsung. Beliau juga sangat disiplin mengqada setiap puasanya yang tertinggal dan tidak pernah lalai mengerjakan solat lima waktu sampai pada akhir hayatnya. Minumannya tidak lain dari air kosong saja, memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan dirinya untuk dipanggil ke depan pengadilan. Beliau mengajar sendiri anak-anaknya mengenai agama Islam.......” Seluruh kaum Muslimin yang menyaksikan kewafatannya menitiskan air mata apabila Sultan yang mengepalai negara yang terbentang luas dari Asia hingga ke Afrika itu hanya meninggalkan warisan 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas, tidak punya tanah atau kebun. Padahal berkhidmat pada kerajaan berpuluh tahun dan memegang jawatan sebagai panglima perang dan Menteri Besar sebelum menubuhkan Emirat Ayyubiyah.
Kain yang dibuat kafannya adalah betul-betul dari warisan beliau yang jelas-jelas halal dan sangat sederhana. Anak beliau yang bernama Fadhal telah masuk ke liang lahad meletakkan jenazah ayahnya. Dikatakan bahawa beliau dikebumikan bersama-sama pedangnya yang dipergunakan dalam setiap peperangan agar dapat menjadi saksi dan dijadikannya tongkat kelak pada hari kiamat. Rahimahullahu anh.
Ketika buku ini ditulis, Baitul Maqdis sedang berada di dalam kekuasaan golongan 'Bintang Enam' dengan negaranya yang dipaksakan. Jika sekiranya ada kepala negara yang bersifat seperti Sultan Shalahuddin di Timur Tengah sana, insya Allah Baitul Maqdis dapat direbut semula oleh kaum Muslimi
MARI BERHENTI SEJENAK
(Ust.M.Anis Matta)
Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta,goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa,suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini,dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret,juga bnyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi!
Jadi,mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat dimana kita melepas kepenatan yang mengurangi ketajaman hati,saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual,saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah yang selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuk kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang harus kita lalui; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita yang telah berubah.
Sesungguhnya,bukan hanya kita,para dai,yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi,sahabat-sahabat Rasulullah SAW.–generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah—menyebutnya majlis iman. Maka,Ibnu Mas`ud berkata,”Duduklah bersama kami,biar kita beriman sejenak.”
Majlis Iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama,untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah,peluang yang disediakan lingkungan eksternal,dan target-target yang dapat kita raih.
Kedua,untuk mengisi ulang hati kita dengan energy baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT. bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu;bahwa kita akan tetap setia memikul beban amanat dakwah ini;bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan;bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras seluruh energy jiwa yang kita miliki,maka majlis iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru,semangat baru,tekad baru,harapan baru,dan keberanian baru.
Karena itu,majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama,karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategi dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayaannya kembali,kemudian melakukan mobilisasi social untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit,sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di bidang institusi.
Kedua,karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan,apa yang dituntut dari kita,kaum dai,adalah melakukan pengadaptasian,penyelarasan,penyeimbangan,dan¬¬–pada waktu yang sama—meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga,karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT. secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran,juga banyak yang berjalan tertatih-tatih.
Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka,dalam majlis iman ini,kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran,penguatan kesadaran,penjernihan jiwa,pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.
Tradisi penghentian atau majlis iman semacama ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan;individu dan jamaah. Pada tingkatan individu,tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi,menghayati,dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif,matang,dan actual disamping kebiasaan muhasabah,memperbaharui niat,menguatkan kesadaran dan motivasi,serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif,semangat individu menyatu dalam semangat kolektif,dan kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas kolektif.
Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakekat kekhusyukan yang disebutkan Alquran,maka inilah salah satunya. Penghentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis,penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dan keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka,Allah SWT mengatakan,”Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya (dimana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh,maka hati-hati mereka menjadi keras,dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS.Alhadid:16)
Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw.menyunahkan umatnya melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan;atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul;atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan itikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis-majelis kecil para sahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yanv melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka ,kata Ali bin Abi Thalib,adalah zikir,dan diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang di antara kita sehingga diam kita berubah menjadi imajinasi yang liar; ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka,dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian,kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.
Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta,goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa,suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini,dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret,juga bnyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi!
Jadi,mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat dimana kita melepas kepenatan yang mengurangi ketajaman hati,saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual,saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah yang selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuk kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang harus kita lalui; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita yang telah berubah.
Sesungguhnya,bukan hanya kita,para dai,yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi,sahabat-sahabat Rasulullah SAW.–generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah—menyebutnya majlis iman. Maka,Ibnu Mas`ud berkata,”Duduklah bersama kami,biar kita beriman sejenak.”
Majlis Iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama,untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah,peluang yang disediakan lingkungan eksternal,dan target-target yang dapat kita raih.
Kedua,untuk mengisi ulang hati kita dengan energy baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT. bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu;bahwa kita akan tetap setia memikul beban amanat dakwah ini;bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan;bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras seluruh energy jiwa yang kita miliki,maka majlis iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru,semangat baru,tekad baru,harapan baru,dan keberanian baru.
Karena itu,majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama,karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategi dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayaannya kembali,kemudian melakukan mobilisasi social untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit,sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di bidang institusi.
Kedua,karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan,apa yang dituntut dari kita,kaum dai,adalah melakukan pengadaptasian,penyelarasan,penyeimbangan,dan¬¬–pada waktu yang sama—meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga,karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT. secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran,juga banyak yang berjalan tertatih-tatih.
Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka,dalam majlis iman ini,kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran,penguatan kesadaran,penjernihan jiwa,pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.
Tradisi penghentian atau majlis iman semacama ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan;individu dan jamaah. Pada tingkatan individu,tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi,menghayati,dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif,matang,dan actual disamping kebiasaan muhasabah,memperbaharui niat,menguatkan kesadaran dan motivasi,serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif,semangat individu menyatu dalam semangat kolektif,dan kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas kolektif.
Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakekat kekhusyukan yang disebutkan Alquran,maka inilah salah satunya. Penghentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis,penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dan keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka,Allah SWT mengatakan,”Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya (dimana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh,maka hati-hati mereka menjadi keras,dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS.Alhadid:16)
Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw.menyunahkan umatnya melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan;atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul;atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan itikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis-majelis kecil para sahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yanv melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka ,kata Ali bin Abi Thalib,adalah zikir,dan diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang di antara kita sehingga diam kita berubah menjadi imajinasi yang liar; ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka,dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian,kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.
MASALAH ITU PASTI ADA
Masalah akan selalu ada, itu pasti. Karena hidup ini sesungguhnya, hanyalah perpindahan dari satu masalah kepada masalah yang lain. Lapar adalah masalah, maka kita harus mencari makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Kantuk adalah masalah, maka kita harus tidur untuk melepaskan rasa kantuk. Lelah adalah masalah, maka kita harus beristirahat agar kita bisa semangat lagi dalam bekerja. Begitulah seterusnya.
Masalah, bagi orang yang selalu melihat sesuatu dengan kacamata negatif adalah beban, kesulitan, pesimisme. Tapi bagi orang yang yang memiliki kepedulian dan sensifitas memberi, masalah adalah tantangan. Masalah adalah motivasi. Masalah adalah optimisme. Mengapa? Karena masalah tidak hanya menyimpan petaka, tetapi juga dia menyediakan ruang yang luas untuk memberi, berkontribusi, agar ada maslahat yang diciptakan. Karena itu, masalah harus dilihat dari banyak sisi agar ia bisa diubah menjadi kekuatan.
Rasulullah pernah mengingatkan kita, “Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan peraturan Allah seperti kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian yang lain di bagian bawah. Penumpang bagian bawah, jika mereka membutuhkan air, maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka mereka pun berujar, “Bagaimana jika kami lubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu tidak akan menyakiti orang yang berada di bagian atas.” Jika kalian biarkan mereka berbuat menurut keinginan mereka itu, maka binasalah mereka dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain.”
Kapal bisa saja tenggelam jika orang yang ada di bagian bawah kapal melubangi kapal untuk mendapatkan air. Hal itu tidak akan terjadi jika orang yang di bagian atas kapal mengetahui kebutuhan orang yang berada di bagian bawah kapal.
Karena itulah kita perlu memberikan kontribusi dengan kemampuan dan keahlian kita, pada satu masalah yang memang kita mengerti. Sebab, mencampuri masalah yang tidak kita mengerti, bukan saja tidak akan selesai tapi mungkin justru akan membuatnya semakin rumit. Rasulullah sendiri telah menegaskan, bahwa jika sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka yang akan terjadi adalah kehancuran. Maka, cukuplah sabda Rasulullah itu sebagai panduan, agar kita tidak memperparah masalah yang ada dengan memberikan komentar-komentar yang salah bahkan menyesatkan.
Wa Allahu ‘Alam Bis Showab
Masalah, bagi orang yang selalu melihat sesuatu dengan kacamata negatif adalah beban, kesulitan, pesimisme. Tapi bagi orang yang yang memiliki kepedulian dan sensifitas memberi, masalah adalah tantangan. Masalah adalah motivasi. Masalah adalah optimisme. Mengapa? Karena masalah tidak hanya menyimpan petaka, tetapi juga dia menyediakan ruang yang luas untuk memberi, berkontribusi, agar ada maslahat yang diciptakan. Karena itu, masalah harus dilihat dari banyak sisi agar ia bisa diubah menjadi kekuatan.
Rasulullah pernah mengingatkan kita, “Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan peraturan Allah seperti kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka. Sebagian mereka mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian yang lain di bagian bawah. Penumpang bagian bawah, jika mereka membutuhkan air, maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka mereka pun berujar, “Bagaimana jika kami lubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu tidak akan menyakiti orang yang berada di bagian atas.” Jika kalian biarkan mereka berbuat menurut keinginan mereka itu, maka binasalah mereka dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain.”
Kapal bisa saja tenggelam jika orang yang ada di bagian bawah kapal melubangi kapal untuk mendapatkan air. Hal itu tidak akan terjadi jika orang yang di bagian atas kapal mengetahui kebutuhan orang yang berada di bagian bawah kapal.
Karena itulah kita perlu memberikan kontribusi dengan kemampuan dan keahlian kita, pada satu masalah yang memang kita mengerti. Sebab, mencampuri masalah yang tidak kita mengerti, bukan saja tidak akan selesai tapi mungkin justru akan membuatnya semakin rumit. Rasulullah sendiri telah menegaskan, bahwa jika sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka yang akan terjadi adalah kehancuran. Maka, cukuplah sabda Rasulullah itu sebagai panduan, agar kita tidak memperparah masalah yang ada dengan memberikan komentar-komentar yang salah bahkan menyesatkan.
Wa Allahu ‘Alam Bis Showab
Subscribe to:
Posts (Atom)